Walaupun tidak terlalu membahana, tapi sejak kemarin aku memperhatikan nama bunda Illiza naik dalam traffic percakapan dunia maya. Sederhana saja, karena bunda nonton bioskop. Hal yang sebenarnya umum dilakukan banyak orang. Tapi jadi satu hal yang 'salah' saat kenyataannya bunda adalah walikota kota Banda Aceh. Sama seperti kota lainnya di Aceh, sampai saat ini bioskop masih menjadi hal yang dilarang.
Bersama pak Sandiaga Uno dan Istri juga pak Sabri Badruddin dan T Iqbal Djohan (anggota DPRK Banda Aceh). Begitu, ku baca di akun instagram bunda. Kalau tak salah dari dua partai nasional keduanya. Melirik keterangan waktu, diunggahnya pagi ini. Kalau mereka memang ikut nonton, nah ini dia. Pahit memang. Sikap yang menyakiti hati rakyat yang dilarang punya bioskop, tapi para pengambil kebijakannya malah bersikap sebaliknya. Ingat ini soal kebijakan dan sikapnya, bukan soal bioskopnya, kawan. Pembuat peraturan itu mestinya orang pertama yang menjalankan aturan.
Banyak yang mengomentari, hanya memfokuskan pada sosok bunda Illiza. Bagiku sebenarnya itu bisa bermakna tiga hal. Satu, sosok Illiza lebih melekat dalam ingatan netizen, apalagi dengan posisinya sebagai walikota yang dikenal gemar mengupayakan penegakan hukum syariat Islam, walaupun masih sangat jauh dari sempurna. Kedua, soal politik saja. Jangan lupa, sebentar lagi pemilihan kepala daerah akan digelar. Ketiga, sebenarnya banyak yang merasa gerah dengan upaya penegakan syariat di Aceh, meskipun sering hanya berani berkomentar sekadarnya. Takut bicara terbuka lalu diusir dari kampungnya, diusir mamak dari rumah karena bikin malu orang Aceh saja.
Seperti di sosial media kemarin, ada yang bilang kalau bisa saja mereka tak ikut nonton. Karena hati nuraninya tak tega dengan orang di kampung halaman, maka habis berfoto saja depan pintu studio 2 bioskop, mereka bergegas pulang. Agak tak masuk akal bagiku. Tapi siapa tahu, bisa saja, keajaiban pada dasarnya ada.
Bisa jadi juga, karena bagi banyak orang, sebagian anggota dewan itu dianggap hanya para pegawai kontrak. Dikontrak lima tahun, untuk lebih banyak habiskan waktu entah untuk apa-apa. Dibanding untuk rakyat yang memilihnya.
Aku seperti juga banyak kawan lain, sepenuhnya sadar. Penerapan syariat di Aceh masih kacau dan terkesan seadanya. Hanya seperti janji manis dengan sedikit tindakan, agar tak terkesan menolak. Kenyataan pahit yang sering dikeluhkan oleh kawan-kawan yang berkenan menggunakan wawasan yang dimilikinya.
Soal bioskop yang kemudian mencuat bagiku hanya hal tak penting yang disuarakan oleh mereka yang tak puas. Bagiku, dibuat kembali bioskop di Aceh juga tidak mengubah suara mereka. Berani bertaruh sepiring mie daging khas cek Baka, setelah bioskop dibuat pun (dengan mengikuti konsep yang dikembangkan di Aceh), pasti akan ada ketidak puasan juga, pasti akan diprotes lagi.
Ah, kawan. Bila berandai-andai, kemungkinan paling wajar adalah akan dibangun bioskop dengan pembagian ruang. Bisa jadi ada ruang khusus laki-laki, khusus perempuan, dan khusus keluarga. Ini masih bisa jadi, maka jangan dulu kamu luncurkan protes ini itu. Aku bukan walikota, ingat itu.
Pasti akan diprotes lagi. Alasannya, mana enak nonton bioskop begitu. Soal bahwa konsep begitu sudah memenuhi fungsi dasar bioskop sebagai tempat menonton film, akan gugur ketika dihadapkan bahwa sebenarnya banyak mereka (yang meminta diadakan bioskop) lebih menyasar pada gaya hidup bermanja mesra dengan si dia. Hal yang tidak akan diprotes oleh pasangan yang sudah berkeluarga tentunya, karena mereka sudah aman.
Dilema terbesar adalah ketika impian penerapan syariat dikelola dengan tidak serius, lalu ditabrakkan dengan gaya hidup, yang dipelopori oleh konsep hidup selebritas hollywood. Alamat terbelit sana sini, lalu semakin kacau ketika pengambil kebijakan cari jalan pintas. Hal klasik di negara ini.
Mengelola dengan sungguh-sungguh. Hal yang membuat nama Ridwan Kamil mencuat secara nasional. Ya, sama-sama walikota, tapi beda dalam kesungguhan. Itu yang kulihat. Subjektif memang, karena aku hanya melihat dari luar.
Tapi bukankah hal salah untuk menabrakkan antara agama dan gaya hidup. Karena sebenarnya tak pernah ada masalah antara agam dan gaya hidup. Aceh punya seribu lima potensi yang bisa dibangun dengan menuruti konsep agama dan budaya, tanpa meninggalkan gaya hidup.
Berbikini ke pantai. Itu gaya hidup. Lebih merujuk pada kepuasan seksual atau ego seksualitas. Karena kenyataanya banyak mereka yang memilih ke pantai dengan baju yang tertutup. Dan esensi pergi ke pantai itu sebenarnya untuk apa. Seperti juga kenyataan bahwa dulu ketika di Banda Aceh masih ada bioskop, Gajah dan Pas 21, saat jam sore betul atau malam, bangku paling belakang itu, yang paling gelap, memang sudah jadi rahasia umum sering digunakan oknum untuk berbuat yang iya-iya. Bukan yang tidak-tidak, tapi hal yang memang iya ingin mereka lakukan.
Di atas segalanya, satu hal yang kurasa dilupakan oleh orang-orang dinas wisata itu tak lain kenyataan bahwa turis akan mengikuti aturan yang berlaku di sebuah wilayah. Kalau tak percaya, lihat saja negara-negara lain. Macam ragam aturan diterapkan, dari soal buang sampah, aturan makan di restoran, bahkan wajib berjubah --jubahnya disediakan-- bila memasuki area masjid. Di Malaysia kalau tak salah ingat. Fakta lainnya, biasanya mereka yang protes macam hal itu, adalah orang-orang yang memang dasarnya tak tahu aturan atau tak punya tata krama.
Coba katakan, macam mana sikapmu kalau ada tamu datang, lalu mencela aturan rumahmu, bahkan menetapkan aturan sendiri bahwa dia boleh duduk disamping istrimu lalu membelai-belai, alasannya karena begitu aturan dirumahnya. Ah, aku yakin, tamu itu bila tak cepat mundur merubah sikap, mestilah akan berakhir dalam kubur tanpa nisan.
Ada banyak cerdik pandai, mereka yang terdidik dan paham. Yang bila diberi kesempatan, akan menghasilkan aturan yang elegan. Aturan yang tak mencederai agama, karena itu yang terpenting, dan bisa memberikan kenyamanan soal gaya hidup.
Sayangnya, bunda Illiza, pak gubernur, yahwa bupati, cek dan wak anggota dewan, tengku-tengku ulama kami, masih ragu untuk duduk bersama lalu mengkaji semuanya secara serius. Bukan sekadar rapat satu dua hari. Tapi sistem jangka panjang, rancangan kerja yang bisa jadi bertahun-tahun baru terwujud tuntas. Rancangan yang akan jadi dasar pembangunan Aceh, yang diwariskan dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya. Bukan kerja cari popularitas sesaat, sekedar mendulang suara untuk pilkada lalu lupa, sampai kemudian pilkada lagi.
Tapi aku juga ingin jujur. Sebenarnya ini bukan hanya urusan bunda Illiza, pak gubernur, yahwa bupati, cek dan wak anggota dewan, tengku-tengku ulama kami, saja. Ini pun ada urusan kita di situ. Karena sebenarnya, kawan, kita masih kurang berbuat juga.
Ada macamnya, ini waktu yang tepat untuk berpisah berbuat. Kupikir-pikir, sudah cukup lama kita dengar cerita batu yang lubang karena tetesan air. Juga soal sapu lidi yang memutuskan terikat dalam satu ikatan, bukannya pergi ke mahkamah syar'iah untuk bercerai lalu runtuh. Atau soal perjalanan berjuta mil dimulai dari satu langkah, nah ini ungkapan dari film cina.
Tak payahlah kita tunggu-tunggu keputusan pemda apa pemko. Gerak dulu. Soal nanti setelah besar itu gerakan, sudah positif hasil dan manfaatnya, lalu datang pemerintah minta jatah lapak, itu gampang. Tinggal tanya, berapa dana pembinaan yang mau dibantu. Supaya kerja kita jadi lebih maksimal.
Mantap Bang Say. Tulisannya sesuai dengan apa yang citra pikirkan juga. Ditulis dengan amat baik. Keren kali. Semoga dibaca lah ya sama pegawai-pegawai kontrak itu.
ReplyDeleteKalau 'pergerakan', kawan-kawan kita banyak sudah bergerak dengan sedikit melempar harap ke pemerintah. Tapi seperti halnya lilin yang nyala, lama-lama mencair juga dan padam.
Ini kan disarikan dari obrolan tadi malam di w.a hehehe.
DeleteCc ke bunda iliza dong bg say
ReplyDeletesiap Liza
Delete